Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71
tahun
kemerdekaan RI segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan
formal selayaknya.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang
terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Benarkah
ini karena
faktor ekonomi
atau sistem yang tidak berpihak
pada mereka?
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada,
mengumumkan hasil penelitian, Hasil Bantuan Siswa
Miskin Endline
di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan menunjukkan beberapa temuan menarik mengenai
hal tersebut.
Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta
9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.
Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekola
ini
sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen).
Meski demikian, rencana
untuk menyekolahkan
anak ke jenjang pendidikan
yang lebih
tinggi ternyata
cukup
besar, yakni 93,9
persen. Hanya 6,1 persen
yan menyatakan tidak memiliki
rencana untuk itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan
dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi
perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespon perubahan komposisi demografi. Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonu (window
of
opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai
dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.
Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya
karena tingkat pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.
Peran Pendidikan Non-Formal Kurang
Pada kesempatan
terpisah Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asahpena), Budi Trikorayanto
yang di kutip dari media radioidola.com, mengakui faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab
masih banyaknya anak putus sekolah.
Namun
masalah ekonomi yang seperti apa? Lanjutnya. Satu contoh anak jalanan, atau pemulung didorong
untuk sekolah itu susah. Karena mereka (anak jalanan, red) sudah bisa mencari uang, dan merasakan kemerdekaan di dunia jalanan dan itu lebih menarik bagi mereka ketimbang
duduk di sekolah, berseragam,
dan menerima
pelajaran dari sekolah.
Dan itu terlalu jauh dari apa yang mereka rasakan sehari-hari.
Menurut Budi, anak-anak jalanan saat ini lebih memilih bekerja
menjadi anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah
menggiring mereka sekolah,
mestinya ada upaya sekolah
yang mendatangi komunitas
mereka.
Tidak bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam,
itu bukan dunia anak-anak jalanan. Jadi sekolah
perlu sektor non-formal, kemudian jemput anak-anak ke kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan
lainnya
Dari beberapa
kasus terungkap pula, banyaknya anak sekarang ini enggan ke sekolah salah satunya karena faktor pengajarnya. Inilah realitas
yang sering terjadi di wilayah perkotaan. Kualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah.
Faktor Budaya Salah Satu Faktor Penyebab Putus Sekolah
Sementara itu, Abduh Zen, Ketua Litbang PB PGRI dan Direktur
Institute for Education Reform menilai
penyebab terbesar anak putus sekolah
memang karena faktor ekonomi dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah
mesti fokus untuk menyelesaikan problematika ini, melalui KIP misalnya.
Meskipun terkendala secara ekonomi, banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dengan KIP.
Dikarenakan KIP harus menggunakan ATM dalam penarikannya dibeberapa daerah
tertentu masih kesulitan dalam mengaksesnya. Kemudian dilaur faktor ekonomi,
faktor budaya misalnya membuat orang tidak berhasrat untuk pergi ke sekolah.
Karena kompleksnya persoalan, banyak masyarakat menilai sekolah tidak
lagi menarik. Sehingga
sering terdengar keluhan untuk apa sekolah. Oleh sebab itu, pemerintah harus fokus membenahinya dan jangan seperti pemburu yang menembak secara memberondong sembarangan di dalam hutan rimba.
Pada kesempatan
itu Abduh Zen mengungkapkan, adanya sekolah rumah sebagai alternatif pendidikan bersifat sementara. Dia menilai, sekolah rumah tidak akan menjadi
solusi masalah pendidikan secara luas dan nasional.
Tetapi ini menjadi upaya penting pada daerah-daerah tertentu ketika pendidikan formal tak bisa menjangkau. Dia mengingatkan bahwa substansi sekolah adalah membangun tradisi literasi, kemelekan terhadap kehidupan ini.
Dengan
bersekolah anak memiliki kemampuan dalam berpikir secara optimal. Setidaknya
denga memiliki bekal pendidikan, anak dapat memecahkan masalah dalam
kehidupannya sehari-sehari. Intinya anak-anak akan memiliki pemikiran yang
berkembang dan maju.
Peran Pemerintah dan Swasta Dalam Mensukseskan Pendidikan
Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di
Indonesia dinilai sukses, namun jumlah
anak usia wajib belajar yang hanya sampai SD cukup besar. Ini menjadi pekerjaan semua pihak
agar pendidikan semakin merata dan menyejahterakan.
Mulai dari pemerintah, kalangan
swasta dan semua lapisan masyarakat. Masa depan di luar pendidikan sekolah.
Dan, tak kalah pentingnya ke depan, pemerintah juga mesti meningkatkan kapasitas dan kualitas guru agar peserta didik semakin
nyaman dan bersemangat untuk bersekolah.
Orang bersekolah
bertujuan agar mampu berpikir, menalar
secara rasional obyektif,
dan bisa memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi
sehari-hari.
Untuk itu perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang mendukung dan ditopang pengajar yang bersahabat. Dan, di
sini
negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa berperan optimal.
Labels:
catatan ringan
Thanks for reading Mengapa Angka Putus Sekolah Di Indonesia Masih Tinggi?. Please share...!
0 Comment for "Mengapa Angka Putus Sekolah Di Indonesia Masih Tinggi?"