![]() |
Ilustrasi: google.com |
Empat
tahun yang lalu Aku adalah seorang pegawai pabrik sepatu, aku seorang operator
mesin yang setiap hari mengatur alur mesin jangan sampai keluar dari
“schedule”. Aku bekerja dengan sistem shift, terbagi dalam tiga shift. Ada
shift pagi, malam dan hingga dini hari alias begadang pulang pagi. Gaji yang
diterima setiap bulannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari setelah
dikurangi ongkos kontrakan, malahan
terkadang banyak kurangnya.
Aku
sudah berumah tangga dengan satu anak dari perkawinan ku dengan seorang gadis
seberang kampung tempat tinggalku. Anakku baru berumur empat tahun-an dan sudah
senang jajan yang tentu saja bikin repot karena harus selalu tersedia uang
jajan untuknya, belum untuk kebutuhan susunya. Setiap hari selalu saja pikiran
dibuat bingung untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga, memang rezeki sudah
ada yang mengatur dan apa yang sudah tampak wajib di syukuri.
Bukan
aku tidak mensyukuri semua nikmat yang sudah Allah berikan, tetapi selaku
manusia sepertinya sangat wajar jika memiliki keinginan untuk dapat hidup lebih
baik dari sekarang. Bukankah Allah sangat mendukung hamba-Nya yang memiliki
keinginan untuk merubah nasibnya? Teringat aku pada satu ceramah yang
disampaikan seorang ustad di sebuah televisi dimana katanya “Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum apabila kaum itu tidak merubah apa yang ada pada
dirinya”. Pikiran aku selalu saja terbayangkan dengan ucapan tersebut. Apa yang
harus di
ubah? Apakah diri ini harus di
ubah? Pekerjaan aku haruskah aku ubah dengan mencari yang baru?.
Lama
aku berpikir dan merenung hingga aku menemukan jawabannya yang harus diubah
adalah perilaku kita, cara berpikir kita dan utamanya akhlak ini. Dalam sehari
berapa banyak aku telah menyia-nyiakan waktu kebersamaan dengan Allah? Begitu
banyak waktu aku buang percuma, aku malu sama Allah banyak meminta dan menuntut
tetapi aku tidak bisa memberikan waktu untuk-Nya serta menjadikan-Nya sebagai
pemimpin dalam hidup ini.
Secara
tidak sengaja aku searching di gadget yang aku miliki mataku tertahan pada satu
cara membuat sebuah kue dan resepnya,
yang ternyata kue itu adalah kue pukis kesukaan aku dan keluarga. Aku datangi
sebuah warnet dekat kontrakan dan aku surfing lebih jauh sambil aku copy file
yang dibutuhkan. Aku ceritakan kisah dan keinginan ku kepada istri. Semula ia
tidak merelakan jika aku berhenti bekerja, yang dikuatirkan adalah bagaimana
dengan makan hari esok dan bagaimana melaluinya tanpa pekerjaan. Jelas sebuah
kekuatiran yang wajar dari pemikiran seorang manusia yang serba terbatas. Aku
hanya memintanya untuk bersama-sama bermunajat kepada Allah, memohon
petunjuk-Nya agar apa yang akan kita kerjakan mendapatkan Ridho-Nya.
Dengan
kebulatan tekad dan semangat juang empat lima, aku pastikan pada “dunia”
jikalau aku bosan jadi pegawai dan beralih profesi sebagai pengusaha kue pukis. Aku persiapkan segala yang dibutuhkan
untuk berjualan kue pukis, dari cetakan kue sampai gerobak telah aku sediakan.
Gerobak aku peroleh dengan jalan membeli gerobak bekas yang dijual oleh salah seorang
rekan tetangga kontrakanku. Dana untuk modal aku peroleh dari hasil menjual
gadget, kalung dan gelang istri. Sedangkan sedikit tabungan yang ada tidak aku
pergunakan sebagai modal tapi aku cadangkan sebagai anggaran biaya tak terduga
selama aku jadi “pengusaha” yang belum pasti penghasilannya. Walau diatas
kertas begitu manis tertera angka yang akan aku peroleh.
Dengan
diimbangi doa yang pol-polan dimana
setiap hari kami berdua selalu rutin melaksanakan sholat Tahajud dan Dhuha
bersama-sama. Tentunya harapan kami bakal beroleh keberhasilan yang diluar
ekspetasi manusia. Tetapi ternyata apa yang terjadi adalah kebalikannya,
dagangan yang aku jajakan tidak pernah habis selama satu minggu aku jualan
hasilnya jeblok, semuanya rugi yang aku peroleh. Bersama dengan istri, kami
mengevaluasi apa yang telah terjadi selama satu minggu ini kenapa kue pukisnya
tidak laris saja. Kiat berdua melakukan uji coba dengan memakan kue pukis satu
persatu dari hasil adonan yang dibuat, yang kami rasakan adalah kue terasa enak
bagi lidah kami. Dari hasil berunding dan melihat cadangan dana yang masih
dapat kami gunakan dalam bertahan hidup, kami sepakat untuk ujicoba kue
tersebut dengan membagikan kepada rekan, tetangga dan saudara sekaligus meminta
saran kepada mereka tentang apa yang mereka rasakan dari kue tersebut dengan
jawaban yang sangat jujur.
Selama
tiga hari kami lakukan serangkaian
test dengan membagikan kue pukis
agar diketahui citarasa sesungguhnya dari produk yang kami buat. Tidak lupa kami
catat dan timbang setiap adonan yang dibuat untuk menemukan tiitik yang pas
dari adonan yang kami buat. Kami lakukan itu agar dapat mematenkan ukuran
setiap bahan yang digunakan tidak lagi dilakukan perkiraan. Alhasil ditemukan satu
titik dimana resep itu sudah pas dan produk siap diluncurkan.
Dengan
rasa kepercayaan diri yang tinggi dan dorongan doa serta semangat yang
dialirkan dari sang istri membuat aku semakin memiliki mental yang kuat untuk
terus berjuang pantang menyerah. Sedikit demi sedikit, sering waktu kue pukis
yang aku jajakan mulai diminati oleh pelanggan.
Aku tidak segan selalu meminta pelanggan saran dari rasa kue yang aku buat agar
ke depannya aku dapat membuat kue yang lebih enak lagi dan sesuai harapan
pelanggan. Bagiku pelanggan adalah segalanya, mereka adalah raja dan karena
mereka aku dapat bertahan hidup serta dari mereka aku dapat memberikan sesuatu
kepada keluargaku.
Kini
sudah dua tahun aku menggeluti usaha berjualan kue pukis dan Alhamdulillah
sudah memiliki empat cabang di beberapa titik di kota kecil ini. Aku sengaja
menyewa tempat di pelataran halaman Alfamart selain harga sewa yang murah dan terjangkau, outlet
Alfamart senantiasa berdekatan dengan perumahan
dan perkampungan. Hal itulah yang
menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam memilih Alfamart sebagai mitra
tempat usaha.
Dengan omset yang lebih dari cukup tentunya memberikan kebahagian tersendiri bagi aku dan keluarga. Dimana kini kami dapat berbagi rezeki dengan enam orang pegawai yang alhamdulillah mereka betah dan kerasan bekerja dengan kami. Keuntungan yang kami peroleh setiap bulannya lebih dari cukup dan sangat jauh bila dibandingkan dengan masa bekerja dahulu dimana uang begitu pas-pasan dan ada pun lebih harus diperoleh dengan jalan lembur yang juga dibatasi jam lemburnya. Keputusan yang aku ambil tempo dulu ternyata tidak salah, walaupun diawal meniti usaha banyak rintangan yang dihadapi yang hampir membuat hati ini putus asa. Kini usaha kue pukis yang aku jalani menghasilkan “rasa manis” semanis kue pukis. (AR. Rahadian)
Labels:
feature
Thanks for reading Aku Bosan Jadi Pegawai . Please share...!
0 Comment for "Aku Bosan Jadi Pegawai "